Keadilan dalam Hubungan Kerja

2019-07-02 03:42:23 |     By Admin

Minggu-minggu terakhir ini bahkan hingga kemarin, Serikat Pekerja khususnya di Semarang ber-siaga untuk mengawal Sidang Pleno Dewan Pengupahan Kota Semarang yang akan mengusulkan besaran Upah Minimum Kota untuk tahun 2019. Dari berbagai informasi yang kami dapat buruh menuntut kenaikan UMK berdasarkan hasil survey KHL sehingga menghasilkan kenaikan 18% lebih. Sementara itu Apindo Kota Semarang mengambil dasar PP 78 tahun 2015 sehingga UMK Kota Semarang naik tidak lebih dari 9%.

Ritual tahunan terkait kenaikan UMK tidak pernah akan berhenti di mana tidak ada lagi konflik kepentingan terkait pengupahan antara pekerja dan pengusaha. Kalau sudah demikian maka bola panas selalu dipegang oleh Pemerintah, dalam hal ini Disnaker sebagai salah satu anggota dewan pengupahan. Pemerintah ‘ketiban awu anget’ dan dicap tidak melaksanakan Sila V Pancasila, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia atau dituduh tidak berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun dalam Surat Edarannya B.240/M-Naker/PHISSK-UPAH/X/2018 tentang Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2018 Menaker telah memberi masukan kepada Gubernur bahwa kenaikan UMK tahun 2019 sesuai PP 78 tahun 2015 yang berarti kenaikan UMK adalah 8.03%.

Konsep Keadilan

Para ahli mendefinisikan kata keadilan dalam berbagai sudut pandang masing-masing. Keadilan diartikan sebagai keseimbangan/kesamaan, tidak berat sebelah, tidak memihak kecuali pada kebenaran; atau keadilan berarti memberikan sesuatu yang semestinya kepada orang/pihak yang berhak. Dengan demikian keadilan bersifat imparsial dan menjadi hak milik seluruh umat manusia tanpa adanya diskriminasi.

Untuk menuju kemakmuran dan kesejahteraan bersama, keadilan harus diartikan secara positif sebagai tindakan memberi (tindakan proaktif), dan tidak diartikan secara negative sebagai tindakan menuntut hak saja (egosentris). Bila semua manusia memiliki sikap adil yang positif berarti ada perlombaan untuk terus memberi kepada orang lain, maka di sana akan ditemukan keadilan dan kesejahteraan bersama. Intinya adalah mau memberi dan bukan hanya menuntut.

Upah Yang Adil

Dalam konteks zaman sekarang tidak ad acara lebih penting untuk menjamin hubungan yang adil antara buruh dan majikan daripada melalui imbalan kerja (Ensiklik Laborem Excercen, Paus Yohanes Paulus II). Dalam hubungan bisnis khususnya dalam hubungan industrial permasalahan upah yang adil selalu diperdebatkan. Sulit menemukan kesepakatan yang memuaskan para pihak secara bersama sama, karena masing-masing pihak mengajukan tuntutan untuk mengamankan kepentingannya.

Secara obyektif upah yang adil memiliki beberapa kriteria misalnya upah adil bisa menjamin para pekerja untuk mampu membeli kebutuhan hidup secara layak artinya hidup dengan kecukupan atas dasar kebutuhan dan bukan atas dasar keinginan. Upah pekerja seharusnya bisa menjadi upah keluarga yang artinya dengan satu gaji kepala keluarga mampu untuk mendirikan keluarga dan menghidupi keluarga secara wajar dan menjamin masa depan keluarga. Namun di samping memperhatikan kebutuhan pekerja, upah yang adil tetap perlu mempertimbangkan kondisi perusahaan dan lingkungan masyarakat sekitar. Adalah tidak adil bahwa perusahaan memberi upah yang melimpah kepada pekerja sementara itu perusahaan tidak bisa mempertahankan kelangsungan bisnisnya. Adalah tidak adil bahwa perusahaan memberi upah yang lebih sementara pendapatan masyarakat sekitar berada dalam kesenjangan yang jauh lebih buruk.

Terkait dengan upah yang adil berarti adanya kesepakatan antara pengusaha dan pekerja untuk saling memberikan secara sewajarnya sesuai dengan koridor yang berlaku atau kalau bisa melebihi peraturan yang ada namun tetap mempertimbangkan kondisi social masyarakat sekitar.

Hubungan Kerja Yang Adil

Dapat dipastikan bahwa yang lebih penting dalam hubungan kerja adalah hubungan yang adil dan bukan hanya upah yang adil. Upah memang menjadi unsur dominan dalam hubungan kerja, namun upah hanyalah salah satu unsur hubungan kerja dan para pihak sering melupakan unsur lain dalam hubungan kerja yang perlu diperhatikan. Kalau dilihat dari dua belah pihak, besaran upah tidak bisa menjadi tolok ukur suatu keadilan. Nominal upah yang besar dianggap adil bagi pekerja tetapi menjadi beban bagi pengusaha, sementara nominal upah yang kecil dianggap adil oleh pengusaha tetapi siksaan bagi pekerja. Dari dua sudut pandang ini tidak ada yang namanya keadilan.

Hubungan kerja yang adil tidak hanya focus pada nominal upah yang banyak tetapi tetap harus memperhatikan kondisi social psikologis. Upah yang besar akan menjadi tidak adil bila mengabaikan kondisi kesehatan karyawan karena kurang istirahat. Pengusaha harus menjamin hak atas istirahat bagi karyawannya dan harus berani membatasi jam kerja karyawan sesuai regulasi yang ada. Faktor jaminan kesehatan dan perlindungan untuk mengantisipasi kecelakaan kerja menjadi unsur sangat penting untuk kenyamanan dan kesejahteraan pekerja. Penghargaan teradap tuntutan pribadi pekerja agar bisa menghayati hidupnya secara penuh dan bahagia tetap harus diperhatikan misalnnya pemberian kesempatan atau hak untuk bersama anak, keluarga, atau orang terdekat. Hal terakhir ini lebih diutamakan bagi pekerja wanita. Jatidiri sebagai wanita tetap harus diperhatikan mesikipun ia bekerja, sehingga pekerja wanita tidak harus dirugikan dengan melepas apa yang khas dan tidak tergantikan sebagai seorang ibu.

Sementara itu hubungan kerja yang adil juga harus memperhatikan sisi pengusaha yang secara langsung selalu dituntut untuk memenuhi segala prasyarat keadilan oleh pekerja. Untuk menjaga keadilan perlu perlakuan seimbang dari dan untuk kedua belah pihak. Tuntutan kesejahteraan dan upah yang layak harus diimbangi dengan kinerja dan loyalitas pekerja yang sepadan demi kemajuan perusahaan. Upah yang tinggi tanpa dibarengi kinerja dan produktivitas akan merugikan perusahaan dan secara tidak langsung akan merugikan pekerja juga.

Bisa ditarik kesimpulan bahwa keadilan tidak berarti terpenuhinya tuntutan dari para pihak tetapi lebih pada sikap memberi (tindakan proaktif) dari para pihak demi kelangsungan dan kemajuan perusahaan. Adil tidak hanya menuntut hak, karena itu sangat egois, tetapi adil bila para pihak rela memberikan apa yang menjadi kewajibannya. Adil itu bukan sikap menuntut tetapi sikap memberi; pengusaha memberikan upah dan kesejahteraan lainnya, pekerja memberi kinerja dan loyalitas optimalnya. Memberi berarti membangun keadilan dan kesejahteraan dalam hubungan kerja; menuntut atau sebaliknya menahan hak pekerja akan merusak keadilan hubungan kerja. Kesepakatan dalam hubungan kerja dengan segala rincian hak dan kewajiban para pihak menjadi pagar untuk membangun hubungan kerja yang adil. Pengusaha akan lebih maju dan pekerja akan lebih sejahtera bila ada sikap murah hati yang melebihi tuntutan keadilan. Bukan hanya ada keseimbangan tetapi ada overlap positip dari para pihak untuk bersama-sama mengembangkan perusahaan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja.

Penulis :

Paulus Irawan Setyaji

Senior Manager HRD PT ScanCom Indonesia;

Anggota PHRD Jawa Tengah